TERNATE, JhazirahTimur – Praktisi hukum, Hendra Karingan, mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara (Malut) untuk segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi tunjangan DPRD Malut. Ia menegaskan bahwa Kejati sudah memiliki bukti yang kuat untuk menetapkan tersangka.
Hendra menyoroti adanya dugaan penyimpangan terkait jumlah tunjangan yang diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan Daerah (Perda). Menurutnya, penganggaran tunjangan fantastis di tengah pandemi Covid-19 dan kondisi ekonomi yang melemah menjadi sorotan. “Ditengah Covid-19 yang mengancam di berbagai sisi, seperti ekonomi melemah, fokus pemerintah adalah menyelamatkan umat manusia dari Covid-19, tiba-tiba dianggarkan yang begitu fantastis itu,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa Kejati tengah menyelidiki potensi kerugian negara dalam kasus ini. “Kalau nantinya hasil audit BPK-P dan BPK menyatakan bahwa ada kerugian negara, maka delik korupsinya kena itu,” tegasnya.
Hendra menambahkan bahwa peningkatan status penyelidikan ke penyidikan mengindikasikan bahwa Kejati telah mengantongi minimal dua alat bukti terkait penyalahgunaan keuangan negara di tengah pandemi Covid-19. “Tinggal Kejaksaan Tinggi Maluku Utara mengumumkan siapa tersangkanya, publik lagi menunggu ini. Mudah-mudahan sehari dua Kejaksaan Tinggi segera mengumumkan hasil penyidikannya, adanya tindak pidana korupsi dalam penyaluran dana operasional kepada anggota DPRD,” harapnya.
Menyoroti regulasi terkait Pergub dan Perda, Hendra mempertanyakan pihak yang menyusun anggaran dan mengusulkan Pergub di tengah pandemi Covid-19, yang menjadi dasar penetapan tunjangan senilai Rp 60 juta. “Sangat keliru kalau tunjangan DPR dengan nilai Rp 60 juta itu dasarnya Pergub,” tegasnya.
Menurut Hendra, Pergub bukanlah sumber hukum dan tidak termasuk dalam hierarki perundang-undangan. “Gubernur tidak punya wewenang mengatur besaran tunjangan itu. Regulasi itu, peraturan pemerintah, turunannya peraturan daerah. Kalau dasar hukumnya itu, peraturan gubernur maka itu keliru, disitu bisa dikenakan penyalahgunaan wewenang,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011, yang tidak mencantumkan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati. “Dasar pengelolaan hukum keuangan itu adalah, peraturan pemerintah (PP) dan peraturan daerah (Perda) bukan peraturan gubernur. Jadi itu keliru. Jadi kalau alokasi anggaran untuk operasional anggota DPRD dan tunjangan dan lainnya, didasarkan pada peraturan gubernur itu sangat fatal. Karena gubernur tidak punya wewenang mengatur itu,” paparnya.
Hendra menyebut nama Abubakar Abdullah, yang saat itu menjabat sebagai Sekwan dan menyusun anggaran tunjangan, berpotensi terseret dalam persoalan ini. “Sekali lagi Peraturan Gubernur bukan sumber hukum. Makanya kalau diurut, mulai dari perencanaan anggaran saja sudah salah, apalagi dikaitkan dengan Covid-19 saat itu. 60 juta itu kalau dikali 45 anggota DPRD dikali 5 tahun dan ternyata berjalan hingga 10 tahun, berarti bisa triliunan itu anggarannya,” ungkapnya.
Ia menyimpulkan bahwa jika Pergub tidak menjadi landasan hukum, maka pihak-pihak yang menyusun anggaran di sekretariat DPRD harus dimintai pertanggungjawaban hukum. “Tegasnya Peraturan gubernur itu dirancang di Pemerintah provinsi, mulai dari Biro Hukum, perencanaan, Sekda, sampai pada Gubernur. Saya pikir pihak Kejaksaan Tinggi Maluku Utara yang sudah menaikkan status penyelidikan ke penyidikan tentu Kejaksaan Tinggi Maluku Utara sudah memiliki bukti yang cukup untuk menetapkan siapa tersangkahnya,” tutup Hendra.
